I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Salah satu ternak yang cukup berpotensi sebagai
sumber pupuk organik adalah sapi. Seekor sapi mampu menghasilkan kotoran padat dan
cair sebanyak 23,6 kg/hari dan 9,1 kg/hari. Berdasarkan hasil penelitian,
setiap petani rata-rata memiliki 6 – 7 ekor. Rata-rata setiap ekor ternak
memerlukan pakan hijau segar 5,35 kg/hari atau 33,3 kg/peternak. Berdasarkan
hasil perhitungan, dari jumlah pakan yang dikonsumsi tersebut 4 kg akan
dikeluarkan sebagai feses (berat kering feses 45%) per hari per 6 ekor sapi.
Selain itu sisa pakan hijauan yang terbuang berkisar 40 – 50% atau sekitar 14,2
kg. Dengan demikian, feses dan sisa hijauan yang dapat dikumpulkan setiap hari
sebagai bahan pupuk kandang mencapai 18,2 kg untuk 6 ekor sapi (Setiawan, 2002).
Menurut Prihandini dan purwanto (2007), kompos merupakan
pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman dan kotoran hewan yang telah
mengalami proses dekomposisi atau pelapukan. Selama ini sisa tanaman dan
kotoran hewan tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai pengganti pupuk
buatan. Kompos yang baik adalah yang sudah cukup mengalami pelapukan dan
dicirikan oleh warna yang sudah berbeda dengan warna bahan pembentuknya, tidak
berbau, kadar air rendah dan sesuai suhu ruang. Proses dan pemanfaatan kompos
dirasa masih perlu ditingkatkan agar dapat dimanfaatkan secara efektif,
menambah pendapatan peternak dan mengatasi pencemaran lingkungan.
Kotoran sapi yang tersusun dari feses, urin, dan
sisa pakan mengandung nitrogen yang lebih tinggi dari pada yang hanya berasal
dari feses. Jumlah nitrogen yang dapat diperoleh dari kotoran sapi dengan total
bobot badan ± l20 kg (6 ekor sapi dewasa) dengan periode pengumpulan kotoran
selama tiga bulan sekali mencapai 7,4 kg. Jumlah ini dapat disetarakan dengan
16,2 kg urea (46 % nitrogen) (Setiawan, 2002).
Menurut pendapat Rahayu et a1l., (2007), kotoran yang baru dihasilkan sapi tidak dapat
langsung diberikan sebagai pupuk tanaman, tetapi harus mengalami proses
pengomposan terlebih dahulu. Beberapa alasan mengapa bahan organik seperti
kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman
antara lain adalah: 1) bila tanah mengandung cukup udara dan air, penguraian
bahan organik berlangsung cepat sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman,
2) penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur hara ke
dalam tanah, 3) struktur bahan organik segar sangat kasar dan daya ikatnya
terhadap air kecil, sehingga bila langsung dibenamkan akan mengakibatkan tanah
menjadi sangat remah, 4) kotoran sapi tidak selalu tersedia pada saat
keperluan, sehingga pembuatan kompos merupakan cara penyimpanan bahan organik
sebelum digunakan sebagai pupuk.
Menurut Prihandini & Purwanto (2007) proses pengomposan
adalah proses menurunkan C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<
20). Selama proses pengomposan, terjadi perubahan unsur kimia yaitu : 1)
karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO2 dan
H2O, 2) penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat
diserap tanarnan.
Menurut Indriani (2012), bahan yang berukuran lebih
kecil akan lebih cepat proses pengomposannya karena semakin luas bahan yang
tersentuh dengan bakteri. Oleh karena itu untuk mempercepat proses tersebut
ukuran, bahan perlu diperkecil dengan cara dipotong atau dicacah. Pada
dekomposisi aerob, oksigen harus cukup tersedia di dalam tumpukan. Apabila
kekurangan oksigen, proses dekomposisi tidak dapat berjalan. Agar tidak kekurangan
oksigen, tumpukan kompos harus dibalik minimum seminggu sekali.
Menurut pendapat Murbandono (2000), kelembaban di
dalam timbunan kompos harus dijaga, karena kelembaban yang tinggi (bahan dalam
keadaan becek) akan mengakibatkan volume udara menjadi berkurang. Semakin basah
timbunan bahan maka kegiatan mengaduk harus makin sering dilakukan. Dengan
demikian, volume udara terjaga stabilitasnya dan pembiakan bakteri anaerob bisa dicegah. Menjaga kestabilan
suhu pada suhu ideal 40 - 500C amat penting dalam pembuatan kompos.
Suhu yang kurang akan menyebabkan bakteri pengurai tidak bisa berkembangbiak
atau bekerja secara wajar. Suhu yang terlalu tinggi bisa membunuh bakteri
pengurai. Adapun kondisi yang kekurangan udara dapat memacu perrumbuhan bakteri
anaerob.
Menurut Susanto (2002), terdapat bermacam-macam
metode pengomposan yang telah dikembangkan dan dipraktekkan di Indonesia, baik
yang bersifat sederhana maupun modern dengan skala industri. Model pengomposan
dilaksanakan dengan cara ditimbun atau dipendam, dibungkus dengan kantong
plastik dan menggunakan tong sampah.
Cukup banyak metode yang dapat digunakan dalam
proses pengomposan masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kelemahan baik
ditinjau dari bahan dasar maupun metode yang digunakan. Dalam proses
pengomposan yang diperlukan adalah kesungguhan petani untuk mengolah limbah
organik menjadi kompos. Oleh karena itu penulis telah melaksanakan Praktek
Kerja Lapang (PKL) "Pembuatan Kompos dari Kotoran Sapi di Kelompok Tani Prima
Jaya Kecamatan Marpoyan Damai".
1.2.
Tujuan
Setelah melaksanakan
Praktek Kerja Lapang, diharapkan mahasiswa:
1.
Dapat mengetahui proses pembuatan kompos
dari kotoran sapi di Kelompok Tani Prima Jaya
2.
Dapat mengembangkan materi-materi dasar
yang telah dipelajari dari perkuliahan
1.3.
Manfaat
Adapun manfaat di
laksanakan Praktek Kerja Lapang ini adalah:
1.
Meningkatkan kualitas mahasiswa dalam
mempelajari teknik pembuatan kompos kotoran sapi dengan praktek langsung
dilapangan
2.
Mahasiswa mampu mengaplikasikan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang di peroleh selama perkuliahan
3.
Menciptakan hubungan social dan
interaksi positif antara mahasiswa dengan Kelompok Tani Prima Jaya
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kotoran Sapi
2.1.1.
Urin
Sapi
Urine sapi merupakan
kotoran yang dikeluarkan dari proses pencernaan sapi dalam bentuk cairan. Urin sapi merupakan komoditi yang berharga
karena urine sapi mengandung unsur Nitogen
yang tinggi yang berguna untuk menyuburkan
tanah. Banyak penelitian yang telah dilakukan terhadap urin sapi, diantaranya adalah Refliaty (2001) melaporkan
bahwa urin sapi mengandung zat perangsang
tumbuh yang dapat digunakan sebagai pengatur tumbuh diantaranya adalah IAA. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa urin sapi juga memberikan pengaruh
positif terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jagung. Karena baunya yang khas, urin ternak juga dapat mencegah
datangnya berbagai hama tanaman sehingga
urin sapi juga dapat berfungsi sebagai pengendalian hama tanaman (Sulityawati,
2005).
2.1.2.
Feses
Sapi
Feses adalah produk
buangan saluran pencernakan hewan yang dikeluarkan melalui anus atau kloaka.
Pada manusia proses pembuangan
kotoran dapat terjadi (tergantung pada individu dan kondisi) antara sekali setiap satu atau dua hari hingga beberapa
kali dalam sehari. Kotoran sapi yang berupa feses mengandung nitrogen yang
tinggi. Jumlah Nitrogen yang dapat
diperoleh dari kotoran sapi dengan total bobot badan ± 120 kg (6 ekor sapi dewasa) dengan periode pengumpulan kotoran selama
tiga bulan sekali mencapai 7,4 kg. Jumlah ini dapat disetarakan dengan 16,2 kg
Urea (46% Nitrogen) (Prihandini, 2007).
Menurut Putro (2007) bau
khas dari feses disebabkan oleh aktivitas bakteri. Bakteri menghasilkan senyawa seperti indole, skatole, dan thiol (senyawa
yang mengandung belerang), dan juga
gas hidrogen sulfida. Feses hewan dapat digunakan
sebagai pupuk kandang dan sebagai sumber bahan bakar yang disebut bio gas.
2.2.
Kompos
Kompos adalah
bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikro
organism (bakteri pembusuk) yang
bekerja di dalamnya. Bahan-bahan organik tersebut seirerti daun, rumput, jerami, sisa-sisa ranting dan dahan,
kotoran hewan, rerontokan kembang,
air kencing, dan lain-lain. Kelangsungan
hidup mikroorganisme tersebut di dukung oleh keadaan lingkungan yang basah dan lembab (Murbandono, 2000).
Menurut Isroi & Yuliarti (2009) pengomposan adalah
proses alami dimana bahan organik mengalami
penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang
memanfaatkan bahan organik sebagai
sumber energi. Pembuatan kompos dilakukan dengan mengatur dan mengotrol proses alami tersebut agar kompos terbentuk
lebih cepat. Proses ini meliputi
pembuatan campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi yang baik, serta penambahan
aktivator.
Kompos bisa terjadi
dengan sendirinya, lewat proses alamiah. Namun, proses tersebut berlangsung lama sekali, dapat mencapai puluhan
tahun, bahkan berabad-abad. Padahal
kebutuhan akan tanah yang subur sudah mendesak. Oleh karena itu, proses itu
perlu dipercepat dengan bantuan manusia. Bahan-bahan organik tidak dapat langsung digunakan tanpa dikomposkan terlebih
dahulu karena bahan organik yang
masih mentah tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Bahan organik itu harus diuraikan terlebih dahulu agar
tanaman dapat menyerap unsur hara
yang dikandungnya. Pemakaian lansung bahan-bahan organik justru dapat menghambat pertumbuhan tanaman karena bahan
itu dapat menjadi serangan hama
tempat tumbuhnya penyakit atau dapat meracuni tumbuhan dengan pengeluaran hasil metabolik sekunder berupa senyawa
alelopati (Isroi & Yuliarti, 2009).
Tanah yang secara terus-menerus
ditanami pasti akan berkurang kesuburannya akibat kandungan unsur haranya
semakin menipis. Kandungan unsur hara pada lapisan tanah tersebut dapat
ditingkatkan kembati dengan pemupukan, disamping tergantung pada proses-proses
yang terjadi dalam pembentukan tanah. Untuk meningkatkan kandungan unsur hara
itu pupuk dibutuhkan. Seberapa pupuk yang diperlukan tentu tergantung kondisi
tanah. Menurut Balai Penelitian/Balai Teknologi Pertanian, faktor yang
menentukan berapa banyak unsur hara yang diperlukan untuk koreksi ialah kondisi
kesuburan tanah itu sendiri, kemasaman (pH), kelembaban tanah, tinggi
rendalrnya kadar bahan organik dalam tanah, kemampuan penyerapan terhadap pupuk
(zat-zat mineral) dari tanaman, faktor iklim, dan nilai ekonomi tanaman yang dibudidayakan
(Isroi & Yuliarti, 2009).
Cara untuk
mengembalikan kesuburan tanah adalah dengan menggunakan pupuk organik seperti
kompos. Bahan ini diyakini mampu meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk organik
mampu mengurangi dampak buruk penggunaan pupuk kimia dan sekaligus
mengembalikan kesuburan tanah hingga kembali seperti semula (Isroi &
Yuliarti, 2009).
Pupuk organik merupakan
hasil akhir dan atau hasil antara dari perubahan atau penguraian bagian dan
sisa-sisa tanaman dan hewan. Karena pupuk organik berasal dari bahan organik
yang mengandung segala macam unsur, maka pupuk ini pun mengandung hampir semua
unsur (baik makro maupun mikro). Hanya saja ketersediaan unsur-unsur tersebut
biasanya dalam jurnlah yang sedikit (Murbandono, 2000).
Kompos yang digunakan
sebebagai pupuk disebut pupuk organik karena penyusunnya terdiri dari
bahan-bahan organik. Kompos ibarat multivitamin bagi tanah pertanian. Kompos
mampu meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos
mampu memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan bahan organik, sekaligus
meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan airnya. Aktivitas
mikroba yang bermanfaat bagi tanaman pun akan meningkat. Aktivitas mikroba ini
membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari dalam tanah dan menghasilkan
senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba juga dapat
membantu tanaman menghadapi serangan penyakit (Isroi & Yuliarti, 2009).
Kandungan unsur hara di
dalam kompos cukup lengkap, meliputi unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, S) dan
unsur hara mikro (Fe, Cu, Mn, Zn, Mo, B, Cl) yang sangat diperlukan bagi
tanaman. Memang kandungan unsur hara tersebut tidak banyak, jauh lebih sedikit
dibanding kandungan unsur hara pada pupuk kimia. Oleh karena itu, aplikasi
kompos biasanya dilakukan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan aplikasi
pupuk kimia (Isroi & Yuliarti, 2009).
Pengolahan kotoran sapi
yang mempunyai kandungan N, P dan K yang tinggi sebagai pupuk kompos dapat
mensuplai unsur hara yang dibutuhkan tanah dan memperbaiki struktur tanah
menjadi lebih baik (Iwan, 2002). Menurut Hartuti (2007) tanah yang baik/sehat,
kelarutan unsur-unsur anorganik akan meningkat, serta ketersediaan asam amino,
zat gula, vitamin dan zat-zat bioaktif hasil dari aktivitas mikroorganisme
efektif dalam tanah akan bertambah, sehingga pertumbuhan tanaman semakin
optimum.
Keunggulan lain kompos
terletak pada kandungan bahan organiknya, termasuk asam humat dan asam fulfat,
yang bermanfaat untuk memacu pertumbuhan tanaman. Dalam jangka pendek
penggunaan kompos dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan meningkatkan
aktivitas biologis tanah dengan menyuplai sebagian kebutuhan tanaman akan unsur
hara. Dalam jangka panjang aplikasi kompos dapat mengembalikan kesuburan dan
produktivitas tanah (Isroi & Yuliarti, 2009)
2.3.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Pengomposan
2.3.1.
Rasio C/N Bahan Baku
Rasio C/N yang efektif unhrk pengomposan berkisar
antara 30:1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan
menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 hingga 40,
mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila
rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein
sehingga defomposisi berjalan lambat. Selama proses pengomposan itu rasio C/N
akan terus menurun. Kompos yang telah matang memiliki rasio C/N-nya kurang dari
20 (Isroi & Yuliarti, 2009).
2.3.2. Ukuran Partikel
Aktivitas mikroba terjadi di antara permukaan area
dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara
mikroba dengan bahan organik sehingga proses pengomposan dapat terjadi lebih
cepat. Ukuran pertikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas).
Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran
partikel bahan, misalnya dengan cara mencacahnya kecuali kotoran hewan (Isroi
& Yuliarti, 2009).
2.3.3. Aerasi
Pengomposan dapat berjalan cepat bila kondisi
oksigen mencukupi (aerob). Aerasi alami berlangsung saat terjadi peningkatan
suhu, yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk
kedalam tuppukan bahan kompos. Namun demikian, hal itu sangat tergantung pada ketebalan
tumpukan bahan. Jika tumpukan bahan terlalu tebal maka aerasi akan berjalan
lebih lambat. Aerasi juga ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan
(kelembaban). Apabila aerasi terhambat maka akan terjadi proses anaerob yang
menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan
pembalikan atau dengan pengaliran udara di dalam tumpukan bahan organik yang
hendak dikomposkan itu (Isroi & Yuliarti, 2009).
2.3.4. Porositas
Porositas adalah rungan di antara partikel di dalam
tumpukan bahan kompos. Porositas di hitung dengan mengatur volume rongga dibagi
dengan volume total. Rongga-rongga itu akan terisi air dan udara yang memasok
oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dipenuhi oleh air maka pasokan
oksigen akan berkurang dan proses pengomposan akan terganggu (Isroi & Yuliarti,
2009).
2.3.5. Kelembapan
Kelembaban memengang peranan yang sangat penting
dalam proses metabolisme mikroba yang secara tidak langsung juga berpengaruh
terhadap pasokan oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik
apabila bahan organik tersebut larut dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah
kisaran optimum untuk metabolisme mikroba, sehingga sangat baik untuk proses pengomposan.
Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan menurun dan
aktivitasnya akan lebih rendah lagi pada kelembaban l5%. Apabila kelembabannya
lebih dari 60%, unsur hara akan tercuci, volume udara akan berkurang.
Akibatnya, aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerob
yang meninbulkan bau tidak sedap (Isroi & Yuliarti, 2009).
2.3.6. Temperatur
Temperatur atau panas sangatlah penting dalam proses
pengomposan. Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung
antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur,
semakin tinggi aktivitas metabolisme, semakin banyak konsumsi oksigen, semakin
cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada
tumpukan bahan organik. Temperatur yang berkisar antara 30-700
menunjukkan akfivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 700C
akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang dapat
bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba patogen tanaman dan
benih gulma (Isroi & Yuliarti, 2009).
2.3.7. Keasaman (pH)
Proses pemgomposan dapat terjadi pada kisaran
pH antara 6,5 sampai 7,5, pH kotoran ternak
umumnya berkisar antan 6,8 hingga 7,4. Baktei lebih senang pada pH netral,
fungi berkembang cukup baik pada kondisi pH agak asam. Kondisi yang alkali kuat
menyebabkan kehilangan nitrogen, hal ini kemungkinan terjadi apabila
ditambahkan kapur pada saat pengomposan berlangsung. Proses pengomposan akan
menyebabkan terjadinya perubahan pada bahan organik dan pH-nya. Sebagai contoh,
proses pelepasan asarn, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan
pH (keasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung
nitrogen akan meningkatkan pH pada fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah
matang biasanya mendekati netral (Isroi & Yuliarti 2009).
2.3.8. Kandungan Hara
Kandungan N, P dan K juga penting dalam proses
pengomposan. Ketiga unsur ini biasanya terdapat di dalam bahan kompos dari peternakan.
Hara ini dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengornposan (Isroi &
Yuliarti, 2009). Kandungan unsur hara N, P, dan K dapat dilihat pada Table 2.1.
Table 2.1.
Kandungan N, P, dan K dalam Kotoran sapi
Bobot
Badan (kg)
|
N(%)
|
P(%)
|
K(%)
|
277
|
28.1
|
9.1
|
20
|
340
|
42.2
|
13.6
|
30
|
454
|
56.2
|
18.2
|
39.9
|
567
|
70.3
|
22.7
|
49.9
|
Sumber : vanderholm
(1979) dalam Undang-undang (2002)
Dari tabel di atas, dapat kita lihat
bahwa bobot badan sangat mempengaruhi kadar unsur hara N, P, dan K, yang mana
semakin berat bobot badan semakin banyak unsur hara yang dikandung.
2.3.9. Kandungan Bahan Berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan yang
berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat, seperti Hg, Cu, Zn,
Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang masuk dalam kategori ini. Logam-logam
berat itu akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan (Isroi &
Yuliarti, 2009).
2.4.
Proses
Pengomposan
Kompos dibuat dari bahan organik yang berasal dari
berbagai macam sumber, Dengan demikian kompos merupakan sumber bahan organik
dan nutrisi tanaman. Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulosa 15-l6%,
hemiselulosa l0-30%, lignin 5-3%, protein 5-40%, bahan mineral (abu) 3-5%, di
samping itu, terdapat bahan larutan air panas dan dingin (gula, pati, asam
amino, urea, garam amonium) sebanyak 2-30%, dan l-5% lemak larut eter dan
alkohol, minyak dan lilin. Komponen organik itu mengalami proses dekomposisi di
bawah kondisi mesofilik dan termofilik (susanto, 2002).
Konversi biologi bahan organik dilaksanakan oleh
berbagai macam mahluk hidup, seperti cacing, serangga tanah, dan juga nematoda.
Serangga tanah dan nematoda menghancurkan bahan organik hingga berukuran kecil.
Kerja itu kemudian dilanjutkan oleh mikroba tanah, seperti bakteri dan kapang. Actinomicetes membuat koloni pada bahan
organik itu dan kemudian mulai menguraikannya. Selama pengomposan berlangsung,
perubahan secara kualitatif dan kuantitatif terjadi, pada tahap awal akibat
perubahan lingkungan beberapa spesies flora menjadi aktif dan berkembang dalam
waktu yang relatif .singkat dan kemudian hilang untuk memberikan kesempatan
pada jenis lain untuk berkembang (Susanto, 2002). Menurut Murbandono (2000) pembuatan
kompos berbahan kotoran sapi sebaiknya ditempatkan ditempat yang teduh atau
ternaungi agar bila hujan turun kompos tidak terkena air hujan sehingga bahan
kompos cepat kering selain itu bau yang ditimbulkan selama proses pengomposan
tidak tersebar kemana-mana.
2.4.1.
Sistem Pengomposan Aerob
Dalam sistem ini, kurang lebih 2/3 unsur karbon (C)
menguap menjadi CO2 dan sisanya 1/3 bagian bereaksi dengan nitrogen
dalam sel hidup. Selama proses pengomposan ini tidak timbul bau busuk. Selama
proses pengomposan berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas
akibat pelepasan energi (Susanto, 2002).
2.4.2.
Sistem pengomposan Anaerob
Peruraian bahan organik akan terjadi pada kondisi
kelangkaan oksigen. Pada sistem ini pertama kali bakteri fakultatif penghasil
asam mengurai bahan organik menjadi asam lemak, aldehida dll; kemudian bakteri
kelompok lain mengubah asam lemak menjadi metana, amoniak, CO2 dan
hidrogen. Selama pengomposan ini akan timbul bau (Susanto, 2002).
2.5.
Teknologi
Pengomposan
2.5.1.
Memper Cepat Pengomposan
Menurut Susetya (2001) pengomposan dapat dipercepat
dengan berbagai strategi, secara umum strategi itu dikelompokan menjadi dua,
yaitu:
1. Memanipulasi
Kondisi Pengomposan
Prinsip strategi ini adalah membuat agar
faktor-faktor atau kondisi menjadi optimum untuk berlangsungnya proses
penguraian bahan organik. Hal ini dapat dilakukan dengan pedakuan-perlakuan
yang seperti pencampuran bahan yang memiliki perbandingan C/N-nya tinggi dengan
bahan yang C/N -nya rendah, pencacahan bahan baku, pembalikan, dan menutup
tumpukan kompos dengan plastik.
2. Menggunakan
Aktivator Pengomposan
Dalam proses pembuatan kompos ada yang mempergunakan
bahan aktivator untuk mempercepat proses pengomposan. Beberapa bahan aktivator
yang dikenal dan beredar di pasaran antara lain : (a) Orga Dec (b) Star Dec (c)
EM-4 (d) Harmony (e) Fix-up Plus
2.5.2.
Metode Pengomposan
Menurut Susanto (2002) metode pengkomposan terbagi
menjadi 6 metode yaitu metode Indoor,
metode Heep, metode Bangelore, metode Barkeley, metode Vermikompos,
dan metode Jepang. Menurut Murbandono (2000) metode pengkomposan hanya satu
yaitu metode sederhana dan praktis. Metode-metode pengkomposan dapat dilihat
berikut:
1. Metode
Indoor
Metode Indoor relatif berbeda dengan metode
lain yang berkembang di wilayah tropika dan subtropika. Kompos dihasilkan
selama musim kering menggunakan lubang galian. Selama musim penghujan proses
pengomposan dilaksanakan dengan metode Windrow
di antara lubang galian. Prinsip dasar pengomposan metode Indoor dapat dibedakan menjadi dua: (1) menggunakan lubang galian dan
(2) menggunakan timbunan.
2.
Metode Heap
Selama musim penghujan atau di wilayah yang curah
hujannya tinggi pembuatan kompos dapat dilaksanakan dengan metode Heap (menimbun bahan yang dikomposkan di
atas permukaan tanah), metode ini memerlukan banyak tenaga kerja dan diperlukan
pengalarnan serta pemeliharaan terhadap peralatan yang digunakan dalam proses
pengomposan.
3. Metode
Bangelore
Menurut (Susanto, 2002), metode pengomposan ini
dikembangkan di Bangalore (India) oleh Acharya (1939). Bahan yang dikomposkan
terdiri atas campuran kotoran temak, tinja dan sampah kota, Selama l-2 minggu
pertama kondisi pengomposan bersifat aerob,
kemudian menjadi anaerob. Proses dekomposisi
yang berlangsung akan mempertahankan hara yang dikandung dan bahan kompos lebih
kaya nitrogen dari pada kompos Indoor.
Timbunan bahan disusun sama seperti metode Indoor,
tetapi harus dipersempit (60 cm). Timbunan kemudian dilapisi dengan lapisan
limbah cair setebal 3 cm. Panas akan timbul setelah 8-10 hari karena proses
fermentasi secara anaerob.
4. Metode
Barkeley
Bahan yang dikomposkan merupakan campuran bahan
organik kaya selulosa (2 bagian) dan bahan organik kaya nitrogen (1 bagian).
Bahan ditimbun sapara berlapis-lapis dengan ukuran 2,4 x 2,2 x 1,5 m. Setelah
dicapai ternperatur termofilik kurang lebih selama 2-3 hari, pada hari keempat
timbunan bahan kompos dibalik. Pembalikan dilakukan lagi pada hari ke 7 dan ke
l0.
5. Metode
Vermikompos
Vermikompos
merupakan bahan campuran hasil proses pengomposan bahan organik yang
memanfaatkan kegiatan cacing tanah. Apabila kegiatan cacing tanah dibiarkan
dalam waktu beberapa bulan tanpa penambahan bahan organik baru, maka keseluruhan
bahan berubah menjadi kascing. Pada proses pengomposan ini menggunakan peran
cacing untuk mengdekomposisikan bahan organik proses pengomposan tidak melalui
fase termofilik selama dilaksanakan kultur
cacing tanah, maka tidak perlu disanitasi.
6. Metode
Jepang
Pengomposan dengan metode Jepang tidak menggunakan
lubang galian sepagai pengantinya mengunakan bak penampung yang terbuat dari
anyaman kawat atau bambu, ban mobil bekas yang disusun bertingkat, atau bahan
lain yang tersedia di setempat. Untuk mengubah dan mengurai bermacam-macan
sumber organik dalam bak penampung, maka beberapa jenis inokulan dapat
dimanfaatkan Aspergilus, Penicelium,
Trikoderma viride mampu mengurai bahan organik.
7. Metode
Sederhana dan Praktis
Cara pembuatan kompos pada metode cukup sederhana,
yaitu bahan baku yang telah dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil,
bahan ditimbun dengan ketinggian maksimal 1,2-1,5 m. Bahan kompos tersebut
disiram dengan air secukupnya agar lembab. Pekerjaan selanjutnya yakni mengaduk
atau membalik untuk menjaga kelembaban.
III. MATERI DAN METODE
3.1.
Waktu
dan Tempat
Praktek kerja lapang
ini dilaksanakan mulai tanggal 22 Januari hingga 22 Februari 2014 di rumah
Kompos Kelompok Tani Prima Jaya Jalan Alamanda No. 2, Kelurahan Maharatu,
Kecamatan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru. Praktek Kerja Lapang ini dilakuan pada
jam kerja dimulai dari jam 08.00 Wib hingga 04.00 Wib.
3.2.
Alat
dan Bahan
Adapun alat-alat yang
digunakan dalam Praktek Kerja Lapang adalah skop, cangkul, gerobak/agkong, bak
plastik, drum, ayakan, mesin pencacah bahan
organik (ZS 195), kantong plastik ukuran 5 kg, hekter, timbangan, dan
kamera. Bahan yang digunakan dalam praktek kerja lapang ini adalah kotoran
sapi, serbuk gergaji, stardec, dan dolomit.
3.3.
Metodologi
Metode yang digunakan
dalam Praktek Kerja Lapang ini adalah observasi dan eksperimen yaitu dengan
melakukan langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan para petani,
khususnya tentang pengomposan.
3.4.
Pelaksanaan
Kegiatan
Adapun kegiatan yang
dilakukan dalam Praktek Kerja Lapang ini adalah sabagai berikut:
1.
Sosialisasi dengan Kelompok Tani
Pada minggu pertama dilakukan
sosialisasi dengan pihak Kelompok Tani Prima Jaya. Sosialisasi ini dilaksanakan
agar lebih memudahkan mahasiswa/PKL dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan
pembimbing lapangan maupun para petani dilapangan. Sosialisasi ini meliputi
perkenalan mahasiswa PKL dan perkenalan Kelompok Tani Prima Jaya yang meliputi
struktur organisasi, mulai dari ketua sampai devisi-devisinya. Selanjutnya
dilaksanakan perkenalan tempat-tempat yang menjadi bagian dari Kelompok Tan
Prima Jaya, yang meliputi Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA), Unit Layanan
Iseminasi Buatan (ULID), Rumah Kompos, Kandang Sapi, dan Lahan Bercocok Tanam.
2.
Pelaksanaan Pembuatan Kompos
Pelaksanaan
pembuatan kompos mengikuti kegiatan petani di Kelompok Tani Prima Jaya
Kecamatan Marpoyan Damai. Metode pengkomposan menggunakan metode sederhana dan
praktis, metode ini digunakan karena cepat dan mudah.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penyusunan laporan hasil Praktek Kerja Lapang sebagai
berikut:
a. Observasi
Penulis melakukan
pengamatan langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan petani khususnya
tentang pembuatan kompos.
b. Wawancara
Proses untuk mendapatkan informasi tentang taknik
pembuatan kompos kotoran sapi, menggunakan Tanya jawab secara langsung dengan
responden. Dalam hal ini, penulis mewawancarai pimpinan, pembimbing, dan petani
di tempat Praktek Kerja Lapang.
4.
Studi Pustaka
Penulis mencari revensi untuk melengkapi data-data
agar memperoleh hubungan antara teori dengan aplikasi di lapangan. Data tersebut
berupa buku, jurnal, arsip, internet, dan lain-lain yang bersifat informative
dan relevan.
3.5.
Jurnal
Kegiatan
Jurnal kegiatan yang dilaksanakan
selama Praktek Kerja Lapang dapat dilihat pada lampiran 1. Kegiatan Praktek
Kerja Lapang ini dilaksanakan selama 149.5 jam kerja.
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PRAKTEK KERJA LAPANG
4.1.
Keadaan
Wilayah Praktek Kerja Lapang
Marpoyan Damai adalah sebuah kecamatan di Kota
Pekanbaru, Riau, Indonesia. Kecamatan ini memiliki luas wilayah 29.74 km2.
Kecamatan ini memiliki penduduk sebanyak 116.536 jiwa dengan kepadatan 3919 jiwa/km2
. Kecamatan ini memiliki kode wilayah 14.71.09. Kecamatan ini memiliki lima kelurahan
yaitu kelurahan Maharatu, Sidomulyo Timur, Tangkerang Bara, Tangkerang Tengah
dan Winorejo.
4.2.
Kelompok
Tani Prima Jaya
Kelompok Tani Prima Jaya adalah kelompok tani yang
beralamatkan di Jalan Alamanda No. 2, Kelurahan Maharatu, Kecamatan Marpoyan
Damai kota Pekanbaru. Kelompok ini berdiri tahun 2001 dibawah naungan dinas
pertanian. Pada awalnya Kelompok Tani Prima Jaya diketuai oleh Bapak Bamas dan beranggotakan
25 orang. Perkembangan Kelompok Tani Prima Jaya terus naik pada tahun 2002
Kelompok Tani Prima Jaya berhasil Ekspor sayur ke Singapura. Pada akhirnya
tahun 2004 vakum karena masalah harga, ketidak adaan modal dan semakin
berkurangnya anggota sehingga tidak ada kegiatan dan aktivitas keorganisasiaan
yang berarti dan berguna bagi anggota kelompok.
Proses untuk menghidupkan kembali Kelompok Tani
Prima Jaya tersebut sangat sulit, karena untuk mengurnpulkan dua puluh anggota
saja mengalami kesulitan. Hingga pada akhirnya pada tahun 2008 dinas peternakan
memberikan bantuan sapi kepada petani sebanyak 5 ekor per KK. Saat ini Kelompok
Tani dipimpin oleh Bapak Legiman dengan beranggotakan 22 orang. Seiring dengan
semakin berkembangnya kelompok begitu pula dengan bertambalrnya fasilitas dan
bantuan yang diterima oleh kelompok serta berbagai macam penyuluhan dan
pembinaan dari Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan Kabupaten kota membuat
Kelompok Tani Prima Jaya masih tetap ada dan berproduksi baik tanaman sayur dan
hasil ternak para petani (Wawancara langsung).
4.3.
Struktu
Organisasi
Struktur Organisasi Kelompok Tani Prima Jaya dibuat
berdasarkan hasil
rapat
dan pemilihan langsung oleh para petani yang diadakan setiap dua tahun sekali,
(Gambar 4.1) Kelompok Tani Prima Jaya sekarang dipinpin oleh Bapak legiman.
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
Gambar 4.1. Struktur Organisasi Kelompok Tani Prima Jaya
![]() |
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Pembuatan
Kompos Kotoran Sapi
Kotoran sapi adalah limbah organik yang berpotensi
sebagai pupuk bagi tanaman namun dalam penggunaannya perlu dilakukan
pengomposan agar unsur hara dalam kotoran sapi dapat diserap dengan baik oleh tanaman.
Pada Praktek Kerja Lapang yang dilakukan di Kelompok Tani Prima Jaya
pengomposan yang dilakukan berupa kotoran padat.
Hal pertama yang dilakukan dalam pembuatan kompos
yaitu persiapan bahan dan alat. Bahan-bahan yang dilakukan adalah feses sapi,
serbuk gergaji, abu bakar, dolomit dan Stardec, dengan perbandingan 100 kg : 20
kg : 30 kg : 15 kg : 1 kg. Sedangkan alat yang digunakan adalah sekop, cangkul,
gerobak/angkong, bak plastik, mesin pencacah bahan organik (ZS 195), ayakan
kantong plastic ukuran 5 kg, lilin dan timbangan.
5.1.1. Pengumpulan
dan Pencampuran Bahan Dasar Kompos
Kotoran sapi yang berasal dari kandang ditampung
kemudian diendapkan karena kotoran masih tercampur dengan urin atau air.
Pengendapan ini bertujuan untuk mendapatkan kotoran yang padat. Setelah
diendapkan, kotoran sapi dipindahkan ke dalam rumah kompos lalu ditambah serta
dicampur rata dengan serbuk gergaji, abu bakaran, dolomit dan Stardec.
Pencampuran bahan dilakukan dengan menaburkan
bahan-bahan lain pada tumpukan kotoran sapi dengan komposisi; Kotoran Sapi 100
kg, abu bakaran 30 kg, serbuk gergaji 20 kg, Dolomit 15 kg dan Starter Stardec 1
kg. Penaburan dilakukan sedikit demi sedikit agar bahan tambahan tercampur
dengan baik/ homogen. Proses pengumpulan dan pencampuran bahan dasar kompos
dapat dilihat pada gambar 5.1.
5.1.2. Penumpukan
Tumpukan bahan dibuat dengan tinggi 1.5 sampai 2
meter dan panjang 2 meter membentuk bedengan atau kerucut. Hal ini bertujuan
untuk mencapai temperatur tumpukan yang maksimum yaitu 60-70 0C, hal
ini dimaksudkan agar bahan baku kompos cepat tedekomposisi. Proses penumpukan
bahan kompos dapat dilihat pada gambar 5.1.
|
|


Gambar 5.1. A) Pencampuran bahan kompos,
B) Penumpukan bahan kompos
Pada gambar 5.1. dapat kitalihat proses awal dari
pembuatan kompos kotoran sapi yaitu pencampuran bahan-bahan kompos seperti
kotoran sapi, serbuk gergaji, abu bakar, Star Dec, dan dolomit, setelah selesai
proses ini, selanjutnya kompos ditumpuk setinggi 1,5 – 2 M.
5.1.3. Monitoring
Monitoring dilakukan selama proses dekomposisi
berlangsung yaitu setiap satu minggu sekali dengan melihat perubahan yang
ditimbulkan. Pada proses dekomposisi, perubahan yang dihasilkan bisa dilihat
pada waktu pembalikan berlangsung, yaitu suhu panas yang ditimbulkan bahan baku
yang terdekomposisi,
tekstur,
aroma dan warna.
Pengamatan proses pengomposan dilakukan empat hari
sekali hingga kompos siap digunakan. Pengamatan dilakukan secara visual dan
menggunakan peralatan yang sederhana. Pengamatan itu meliputi suhu, kelmbapan,
penurunan volume, warna kompos.
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggali timbunan
kompos dibeberapa tempat dan temratur di bagian dalam timbunan kompos dirasakan
dengan tangan, hal ini untuk merasakan
suhu kompos terasa hangat atau dingin. Suhu timbunan kompos mengalami
peningkatan setiap harinya, kurva suhu timbunan kompos selama pengamatan tidak
mengalami penurunan, hal ini dikarenakan timbunan kompos terlalu tinggi.
Kelembaban kompos selama proses pengomposan mutlak
harus dijaga. Keadaan kadar air kompos yang dilakukan terlalu tinggi hingga
bahan dalam keadaan becek. Hal ini mengakibatakan volume udara menjadi
berkurang. Di bagian permukaan kompos terlihat kering namun dibagian dalam
tumpukan kadar air sangat tinggi. Oleh karena itu selama pengomposan proses
pembalikan semakin sering dilakukan.
Sejalan dengan proses penguraian bahan organik
menjadi kompos juga terjadi penyusutan bahan kompos. Penyusutan volume tumpukan
yang terjadi mencapai setengah dari volume semula. Sedangkan untuk kenampakan
kompos berupa perubahan warna yaitu kompos terlihat berwarna hijau kehitaman.
Dengan sedikit jamur ditemukan diatas
tumpukan bahan kompos itu.
5.1.4. Pembalikan
Proses
pengomposan yang baik dan berjalan cepat memerlukan sirkulasi udara yang
berjalan lancar. Membalik kompos dilakukan setiap empat hari sekali bertujuan
membuang panas yang berlebihan, memperlancar sirkulasi udara, meratakan proses
pelapukan di setiap bagian tumpukan, membantu penghancuran bahan menjadi
partikel kecil-kecil, mempercepat penurunan kadar air dan meningkatkan
homogenitas bahan. Proses pembalikan kompos dapat kita lihat pada gambar 5.2.

Gambar
5.2. Pembalikan kompos
Pada gambar 5.2 dapat kita lihat proses pembalikan
kompos, pembalikan kompos ini dilakukan 4 hari sekali, hal ini bertujuan untuk
mempercepat proses pengomposan.
5.1.5. Pendinginan
Setelah proses pengomposan bejalan selama 20-30 hari
suhu tumpukan akan semakin menurun. Pada saat itu bahan kompos akan lapuk dan
terlihat berwarna coklat tua serta tidak menimbulkan bau amoniak. Praises
pendinginan dilakukan dengan cara diangin-anginkan di tempat yang teduh.
Pendinginan berjalan selama 10 hari sampai kompos terasa dingin, mencapai suhu
ruangan yaitu 25 0C.
5.1.6. Penghalusan
Meskipun telah menjadi kompos, ukuran kompos masih
cukup besar dan tidak seragan ukurannya. Kompos yang telah kering dan ukurannya
besar dapat dihaluskan dengan mesin pencacah bahan organic ZS 195.
Kompos yang
dihaluskan harus sudah cukup kering dengan kadar air kurang dari 40 %. Untuk
menentukan kadar air hingga 40% yaitu dengan memegang kompos dan merasakan
kelembapannya. Apabila kompos terlalu basah, kompos akan menggumpal pada mesin
pencacah dan sulit keluar dari mesin pencacah. Proses penghalusan kompos dapat
dilihat pada gambar 5.3.

Gambar
5.3. Penghalusan kompos yang sudah matang
Pada gambar diatas yaitu proses penghalusan
kompos yang sudah matang dengan menggunakan mesin pencacah kompos, ini
bertujuan untuk menghaluskan partikel kompos yang masih dalam bentuk bongkahan
besar.
5.1.7. Pengayakan
Kompos yang
telah dihancurkan selanjutnya diayak untuk mendapatkan kompos dengan kehalusan
tertentu. Pengayakan juga berfungsi untuk menyeragamkan ukuran partikelnya.
Kompos diayak dengan menggunakan ayakan yang dibuat sama dengan ayakan pasir
namun ukuran kawat yang digunakan sedikit lebih besar. Bahan yang tidak lolos
pengayakan dimasukkan kembali ke dalam mesin pengiling. Proses pengayakan dapat
dilihat pada gambar 5.4.

Gambar
5.4. Pengayakan kompos yang sudah digiling
Pada gambar ini bertujuan untuk menetukan kehalusan
kompos yang akan dikemas. Proses pengayakan juga bertujuan untuk memisahkan
kotoran yang tercampur pada kompos, contohnya plastik, sisa pakan yang tidak
terdekomposisi dan lainnya.
5.1.8. Pengemasan
Kompos yang telah
diayak perlu dikemas sebelum dipasarkan atau diaplikasikan ke lahan pertanian.
Kompos dikemas dengan menggunakan plastik dengan ukuran 1 kg, kemudian di
keratkan dengan lilin. Pengemasan juga dilakukan menggunakan karung dengan
ukuran 20 kg. Setelah kompos diemas, kompos disimpan di tempat yang kering dan
aman, diletakan diatas papan. Proses pengemasan dapat dilihat pada gambar 5.5.

Gambar 5.5.
Pengemasan kompos
Setelah selesai pengayakan, kompos
yang benar-benar sudah halus dikemas dengan plastik berukuran 1 kg dan disimpan
pada tempat yang kering. Tujuan kompos disimpan pada tempat kering yaitu untuk
menjaga suhu dan kelembapan, hal ini dikarenakan agar tidak terjadi
penggumpalan pada kompos.
5.2. Pembahasan
Timbunan bahan-bahan organik pada pembuatan kompos
terjadi aneka perubahan hayati yang dilakukan oleh jasad-jasad renik. Perubahan
hayati yang terjadi berupa penguraian hidratarang, selulosa, hemiselulosa, dan
lain-lain menjadi CO2 dan air, penguraian zat lemak dan lilin menjadi
CO2 dan air, penguraian asam-asurm amino menjadi amoniak, terjadi
pengikatan beberapa jenis unsur hara di dalam tubuh jasad-jasad renik, terutama
nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Unsur-unsur tersebut akan terlepas
kembali bila jasad-jasad tersebut mati, pembebasan unsur-unsur hara dari
senyawa-senyawa organik menjadi senyawa anorganik yang berguna bagi tumbuhan.
Akibat perubahan tersebut, berat dan isi bahan
kompos menjadi sangat berkurang. Sebagian besar senyawa zat arang akan hilang,
menguap ke udara. Kadar senyawa yang larut (amoniak) akan meningkat.
Peningkatan ini tergantung pada perbandingan C/N bahan asal. Dalam pengomposan,
kadar abu dan humus makin meningkat. Pada perubahan selanjutnya akan diperoleh
bahan yang berwarna coklat kehitaman.
Selama proses pengomposan berlangsung, perubahan
secara kualitatif dan kuantitatif terjadi, pada tahap awal akibat perubahan
lingkungan beberapa spesies flora menjadi aktif dan berkembang dalam waktu yang
relatif singkat dan kemudian hilang untuk memberikan kesernpatan pada jenis
lain untuk berkembang. Pada minggu kedua dan ketiga kelompok fisiologi yang
berperan aktif dalam proses pengomposan yaitu bakteri amonifikasi, proteolitik,
pektinolitik dan bakteri penambat nitrogen. Mulai hari ketujuh kelompok rnikrobia
meningkat setelah minggu ke empat mikro organisme yang berperan adalah mikroorganisme
selulopatilk, lignolitik, dan fungi.
Pemberian dolomit pada proses pengomposan bertujauan
untuk memberikan pengaruh yang baik, maka pH kompos harus mendekati netral atau
agak alkalin. Selain itu, penambahan Stardec juga dilakukan untuk mempercepat proses
dekomposisi. Stardec berisi beberapa mikroba yang berperan dalam penguraian
atau dekomposisi limbah organik hingga dapat menjadi kompos. Mikroba tersebut
adalah mikroba lignolitik, mikroba selulolitik, mikroba proteolitik, mikroba lipolitik,
mikroba aminolitik, dan mikroba fiksasi nitrogen non-simbiolitik.
Dalam pengomposan yang dilakukan tidak timbul bau
busuk yang menyengat karena pengomposan yang dilakukan menggunakan system pengomposan
aerob yang kurang lebih 2/3 unsur karbon (C) menguap (menjadi CO2
dan sisanya 1/3 bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses
pengomposan berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat
pelepasan energi. Kenaikan temperatur yang menguntungkan mikroorganisme termofilik.
Bermacarn-macam proses pematangan kompos harus
terlaksana sehingga mikroorganisme yang aktif dalam proses biologi pengomposan
akan berkembang pada kondisi lingkungan yang optimal. Beberapa kondisi yang
perlu diperhatikan adalah nisbah hara dan kandungan air bahan dasar kompos, dapat
diperbaiki melalui pencampuran berbagai jenis limbah. Kotoran ternak yang
mempunyai nisbah C/N tinggi harus dicampur dengan limbah pertaniah yang
mempunyai nisbah C/N lebih tinggi.
Penambahan bahan aditif perlu dilakukan dalam pengomposan
dengan tujuan memperbaiki struktur kompos dalam timbunan, dengan demikian akan memperbaiki
pasokan oksigen, menurunkan berat volume, mengatur kandungan air, menekan
kehilangan hara. Bahan aditif meningkatkan volume pori aerasi dan mendorong
pembentukan kornplek humus. Proses dekomposisi yang terjadi dipercepat secara
buatan dengan cara memperbaiki kondisi proses dekomposisi. Penambahan bahan
yang ruah dan kering dalam jumlah banyak dan disertai pembalikan kompos selama
proses dekomposisi berlangsung akan memperbaiki pertukaran gas dan menekan
kandungan air. Pasokan oksigen terhadap bahan yang didekomposisi tidak hanya
dipengaruhi berat bahan saja, tetapi juga frekuensi dan teknik pembalikan serta
ketinggian timbunan. Ketinggian timbunan bahan juga menentukan kecepatan pengomposan
jika terlalu tinggi bahan akan lama kering.
Pembalikan kompos yang dilakukan membantu
pencampuran dan pelongaran serta aerasi timbunan. Kondisi yang baru menyebabkan
kehidupan mikroorganisme berperan dan menekan kemungkinan terjadinya kondisi anaerob
pada timbunan kompos. Pembalikan yang dilalrukan secara teratur juga rnenyebabkan
bahan yang ada di bagian luar yang kurang panas dipindahkan ke bagian yang
lebih panas di bagian tengah.
Dari pengamatan yang dilakukan lamanya proses
pengomposan dalam pembuatan kompos padat ini di duga oleh beberapa faktor,
diantaranya yaitu proses pengendapan bahan dasar yang terlalu singkat, proses
pencampuran bahan yang kurang merata tumpukan kompos yang terlalu tebal dan
keadaan rumah kompos yang kurang baik sehingga bila turun hujan air masuk
kedalam tumpukan kompos.
VI. PENUTUP
6.1.
Kesimpulan
Kotoran sapi yang tersusun dari feses dan urin
adalah sumber pupuk organik yang cukup berpotensi. Namun dalam penggunaannya
tidak dapat langsung diberikan pada tanaman, tetapi harus mengalami proses
pengomposan terlebih dahulu. Dimana pengomposan adalah suatu proses biologis
dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk mengubah material organik seperti
kotoran ternak, sampah, daun, kertas, dan sisa makanan menjadi material seperti
tanah yang disebut kompos. Bahan yang terbentuk mempunyai berat volume yang
lebih rendah dari pada bahan dasarnya, stabil, dekomposisi lambat dan sumber
pupuk organik.
Dalam proses pengomposan ada beberapa faktor yang
perlu diperhatikan, antara lain bahan baku, ukuran partikel, aerasi, porositas,
kelembaban, suhu dan pH. Selain itu, teknologi pengomposan juga perlu dilakukan
agar proses pengomposan dapat berjalan lebih cepat, lebih baik dan menghasilkan
produk kompos yang berkualitas baik.
6.2.
Saran
Proses pengomposan sebaiknya bahan diendapkan hingga
mencapai kadar air yang cukup rendah dan dalam pencampuran bahan-bahan harus
benar-benar rata dengan diiringi pembalikan yang teratur. Selain itu, tumpukan
kompos yang terlalu tebal juga merupakan penyebab lamanya proses pematangan di tambah
lagi keadaan rumah kompos yang kurang baik sehingga bila turun hujan air masuk
kedalam tumpukan kompos, maka dengan itu renovasi rumah kompos sebaiknya dilakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abutani, S. A,
Darlis, Yusrizal, Monica, M, dan Sugihartono, M. 2001. Penerapan Pola Usaha
Tani Terintengrasi Tribionik Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat. 5 (3)
: 93 – 98
Arifin, Z., 2006.
Pengaruh Aplikasi Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi
Sawah. Buletin Teknologi dan Informasi
Pertanian. 8 (8) : 1 – 8
Ambarwati,
Kusumawati, Y., dan Suswardani, D. L. 2004. Peran Efektive Mikroorganisme EM 4
dalam Meningkatkan Kualitas Fisik dan Biologis Kompos Ampas Tahu. Jurnal Infokes. 8 (1) : 55 – 65
Hartuti, S,
Sriatun dan Taslimah. 2007. Pembuatan Pupuk Kompos Dari Laimbah Bunga Kenanga
dan Pengaruh Persentase Ziolit Terhadap Ketersedian Nitrogen Tanah. Jurnal Agresistem. 3 (6) : 45 – 60
Indriani, Y. H. 2012.
Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar
Swadaya. Jakarta
Isroi dan
Yuliarti, M. 2009. Kompos. Lily
Publisher. Yogyakarta
Mirhani. 2008. Evalusi
Penyuluhan Penggunaan Bokasi Kotoran Sapi Terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Rumput Gajah. Jurnal Agresistem. 4
(1) : 1 – 10
Mardani, D.Y.
2005. Pengaruh Pupuk Organik dan Lengas Tanah Terhadap Pertumbuhan Bibit Jambu
Mete (Annacardium occidentale L.). Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian (INTAN) Yogyakarta
Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia, Karakteristik,
klasifikasi dan pemanfaatannya. Pustaka Jaya. Jakarta.
Murbandono, L.
HS. 2000. Membuat Kompos. Penebar
swadaya. Jakarta
Putro, S. 2007.
Penerapan Instalasi Sederhana Pengolahan Kotoran Sapi Menjadi Energi Biogas di
Desa sugihan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Pengembang Masyarakat. l0 (2) : I78 – 188
Prihandini, P.
w, dan Purwanto, T. 2007. Petunjuk Teknis
Pembuatan Kompos Berbahan Kotoran Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan.
Rahayu, S,
Purwaningsih, D, dan Pujianto. 2009. Pemanfaatan Kotoran Ternak Sapi Sebagai
Sumber Energi Alternatif Ramah Lingkungan Beserta Aspek Sosial Kulturalnya. Jurnal Inovasi Teknologi. 13 (2) : 19 – 23
Refliaty,
Tampubolon, G, dan Hendriansyah. 2001. Pengaruh pemberian Kompos Sisa Biogas
Kotoran Sapi Terhadap Perbaikan Beberapa Sifat Fisik Ultisol dan Hasil Kedelai
(Glycine max (L). Merill). Jurnal Hidrolitan. 2 (3) : 103 – 114
Setiawan, A.1.
2002. Memanfaatkan Kotoran Ternak.
Penebar Swadaya. Jakarta
Susanto, R. 2002.
Pertanian Organik: Menuju Pertanian
Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. Jakarta
Susetya, D.
2001. Pupuk Organik: untuk Tanaman
Pertanian dan Perkebunan. Pustaka Baru Press. Yogyakarta
Sulityawati, E
dan Nugraha, R. 2005. Efektivitas Kompos Sampah Perkotaan Sebagai Pupuk Organik Dalam Meningkatkan Produktivitas dan Menurunkan Biaya Produksi Budidaya
Padi. Jurnal Teknologi Pertanian. 10
(2) : 133 – 142
Soleh, M., 2006.
Penggunaan Biofertilizer (Bokasi) Dalam Upaya Mendukung Pengelolaan Tanarnan Padi. Buletin
Teknologi dan Informasi Pertanian. Vol
8 : l – 8
0 komentar:
Posting Komentar
mohon di komentari y gan....!!!